Sistem Peningkatan Kapasitas Perangkat Desa

Oleh: Tirta Adji

jejakdesa.com – Pada hari ini kita sedang memasuki dunia serba cepat. Yaitu era industri 4.0. Dimana sistem kerja manusia yang begitu cepat, manusia dituntut untuk mengikuti perubahan jaman serba digital. Sistem kerja tidak hanya menggunakan otot saja. Tapi, manusia lebih mengedepankan intelektual atau pengetahuan. Ada istilah yang mengatakan bahwa, “manusia yang bisa hidup diberbagai jaman adalah orang yang mapan dalam intelektual”. Terlepas kata-kata tersebut benar atau salah, kita mempunyai keyakinan masing-masing untuk mencari kebenaran itu. Mungkin kita bisa melihat untuk meyakinkan bahwa, intelektual atau pengetahuan manusia adalah kunci yang mengantarkan manusia pada sebuah keberhasilan visi dan misi. Kita bisa melihat tema tulisan ini. Jika perangkat desa tidak mempunyai kapasitas, tentunya orientasi kerjanya serampangan dan tidak tentu arah. Yang penting kebalai desa, nongkrong dengan teman-teman perangkat dan menunggu jam siang untuk bisa pulang. Dapat dipastikan setiap hari aktifitasnya hanya itu-itu saja.

Peningkatan kapasitas (Capacity building) merupakan suatu proses untuk melakukan sesuatu, atau serangkaian gerakan. Perubahan multi level di dalam individu, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi dan sistem-sistem dalam rangka untuk memperkuat kemampuan penyesuaian individu dan organisasi. Sehingga dapat tanggap terhadap perubahan lingkungan yang ada. Sehingga kegiatan ini seharusnya bisa dilakukan oleh perangkat desa.

Oleh sebab itu ini hal yang harus dijadikan catatan bersama. Jika tidak ada tindakan, pasti akan terus menjadi mata rantai pembodohan. Karena perangkat desa bisa dikatakan miskin inovasi. Apakah kata-kata ini bisa dibuktikan?. Mungkin kita bisa melihat dari sekian ribu desa di Indonesia. Yang muncul kebanyakan di publik adalah Kepala Desa (Kades) Ponggok di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Desa Pujon Kidul, Malang Jawa Timur dan  Desa Kemiren, Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi. Lalu bagaimana dengan yang lainnya?. Melihat ini tentu menjadikan bahan refleksi bersama untuk memotivasi desa yang lain untuk terpacu ikut maju. 

Artinya ada sistem pendidikan dan latihan (Diklat) harus diperbaiki, direformasi mendasar. Diklat untuk perangkat desa tidak hanya bersifat seremonial dan gugur kewajiban. Diklat harus mampu membuka mata mereka untuk melihat realitas yang ada di desa. Mereka harus di ajarkan untuk menganalisa pokok permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah Desa (Pemdes). Permasalahan itu muncul karena materi dan metode yang diajarkan sama, seolah menjadi doktrin yang sulit untuk diubah, padahal dunia dan tuntutan terhadap kinerja birokrasi selalu berubah, terlebih sejak adanya UU Desa No 06 Tahun 2014. Diklat tampaknya hanya menekan kepatuhan (compliance) serta sangat miskin kreativitas dan inovasi, walaupun desa dituntut berinovasi. Ternyata tidak di indahkan oleh desa. Penekanan soal kekritisan perangkat desa juga sangat kurang. Jika kita bandingkan diklat-diklat yang ada hanya fokus pada kesibukan administrasi saja. Bisa dikatakan miskin penekanan nilai-nilai, seperti tanggungjawab dan sebagainya. Kalaupun ada yang mempunyai rasa tanggungjawab masih sangat sedikit. Akibatnya, hampir tidak pernah ada peningkatan kemampuan. Selain itu sasaran dan targetnya tidak pernah jelas. (*)

Sumber foto: https//www.fakat.news

jejak Desa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kembali ke atas