UU Desa bertujuan antara lain memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia; memberikan kepastian status desa dalam ketatanegaraan; dan melestarikan dan memajukan adat, tradisi dan budaya masyarakat desa. Itu sebabnya bagi sebagian kalangan, UU Desa dipandang sebagai ‘payung’ penting kembalinya apa yang disebut desa adat, atau dengan sebutan nama lain.
UU Desa mendefinisikan desa sebagai desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Indonesia. Dengan definisi itu kini dikenal desa dinas dan desa adat.
Pemerintahan desa yang dikenal sehari-hari, tempat warga mengurus dokumen kependudukan, misalnya, merujuk pada desa dinas. Desa adat, dalam perspektif UU Desa, dapat dibentuk dari desa sepanjang memenuhi syarat. Syarat inilah yang kemudian dianggap menjadi jalan terjal pembentukan desa adat. Berbagai pertanyaan yang bermunculan di lapangan berkaitan dengan pembentukan dan pelaksanaan pemerintahan desa adat.
Syarat Pembentukan Desa Adat Menurut UU Desa.
Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik bersifat territorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional;
Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan
Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Setidaknya Ada lima pertanyaan pokok mengenai desa adat: apakah desa adat masih penting dalam kehidupan masyarakat sekarang; apakah hukum adat dapat eksis walaupun tanpa desa adat; apakah pemerintah pusat memang punya keinginan kuat untuk menghidupkan kembali desa adat; apakah yang harus dilakukan untuk eksistensi desa adat tersebut; dan kendala-kendala apa yang dihadapi dalam keberadaan desa adat.
Penetapan desa adat merupakan tantangan tersendiri, salah satu problem di lapangan. misalnya menemukan fakta tidak adanya regulasi yang menjadi payung hukum untuk mengubah suatu desa menjadi desa adat. Proses administratif penetapan desa adat tidak semudah yang dibayangkan, apalagi jika ‘pendampingan’ dan pengawasan pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak berjalan optimal.
Sebenarnya, mengenai penetapan desa adat sudah ada sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi, ditambah aturan dalam Bab III UU Desa. Misalnya, putusan MK No. 010/PUU-I/2003 tentang Pengujian UU No. 11 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU No. 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, dan Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Sengingi, dan Kota Batam; putusan MK No. 31/PUU-V/2007 perihal Pengujian UU No. 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual di Provinsi Maluku; putusan No. 6/PUU-VI/2008 perihal Pengujian UU No. 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali, dan Kabupaten Banggai Kepulauan; dan putusan MK No. 35/PUU-X/2012 perihal Pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo sebenarnya menargetkan pembentukan 50 desa adat. Tetapi target itu bukan pekerjaan mudah karena suatu desa adat bersinggungan dan dibatasi oleh wilayah adat. Persoalannya, batas-batas wilayah adat tidak identik dengan batas desa dinas. Cara menentukan batas wilayah adat masih sulit. Dalam konteks inilah, kemudian desa adat tidak bisa dipersamakan dengan masyarakat hukum adat. Di Bali, desa adat bisa sejalan dengan desa dinas dalam hal batas-batasnya.
Persoalan lain yang mengemuka adalah pelaksanaan demokrasi di desa. Syarat kepala desa dan proses pemilihannya telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. “Bagaimana kalau di desa itu masih menggunakan model-model (pemilihan) berdasarkan genealogis?,”
Putusan Mahkamah Konstitusi tentang noken mungkin dapat dijadikan analogi untuk pengakuan atas konsep demokrasi alat adat yang berlaku. Tetapi dalam konsep adat biasanya kepala desa harus berasal dari desa itu. Terungkap pula bahwa ada beberapa konsep yang belum jelas. Misalnya, UU Desa memperkenalkan tiga istilah yang tak jelas batas-batasnya: penataan desa, penataan desa adat, dan penataan kesatuan masyarakat hukum adat.
Oleh: Yus Fatullah Akbar (Pendamping Desa Kec. Poncokusumo)