TULUNGAGUNG–Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Jawa Timur menilai pengelolaan hutan di provinsi ini masih lemah dan minim akuntabilitas publik.
Sebagai langkah penguatan, JPIK membentuk Kanal Aduan Publik untuk menampung laporan masyarakat terkait dugaan kejahatan kehutanan dan pelanggaran industri pengolahan hasil hutan.
Inisiatif tersebut disepakati dalam konsolidasi jaringan yang digelar di Café Rabicoen Kopi, Desa Plosokandang, Kecamatan Kedungwaru, Kabupaten Tulungagung, Minggu (26/10/2025).
Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai elemen pegiat lingkungan, di antaranya Eksekutif Nasional JPIK Moch. Ichwan (Bogor), Dewan Daerah JPIK Jatim Zainul Rohman dan Zainul Abidin (Malang), serta Direktur Eksekutif Daerah JPIK Jatim Munif Rodaim. Turut hadir pula perwakilan organisasi lingkungan seperti Walhi Jatim, PPLH Mangkubumi, Ecoton, Nol Sampah, dan Deling Kuning.
Dalam forum tersebut, Munif Rodaim menegaskan bahwa Jawa Timur bukan hanya provinsi industri dan agraris, tetapi juga memiliki kawasan hutan yang berperan penting sebagai penopang keselamatan ekologis masyarakat. Namun, lanjutnya, kondisi hutan kini semakin terancam akibat maraknya perambahan, pencurian kayu, dan alih fungsi kawasan.
“Jika tutupan hutan terus menyusut dan penegakan hukum lemah, maka masyarakatlah yang akan menanggung risikonya,” ujar Munif.
Hal senada disampaikan oleh Zainul Abidin, Dewan Daerah JPIK Jatim. Ia menyoroti terjadinya deforestasi dan degradasi di berbagai wilayah hulu. Seperti kawasan kaki Gunung Anjasmoro/ Arjuna di Batu, lereng Semeru di Malang Bagian Timur dan Selatan, hingga Wonosalam, Jombang.
Selain itu, JPIK juga menilai lemahnya pengawasan di wilayah hilir, terutama di Surabaya dan Gresik, yang menjadi pintu masuk kayu log dari luar Jawa menuju industri ekspor. Hasil pemantauan JPIK menemukan adanya indikasi pelanggaran standar Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK), bahkan pada industri yang telah mengantongi sertifikat resmi.
Dokumen tata ruang daerah pun menjadi sorotan karena dianggap tidak sepenuhnya terbuka dan tidak konsisten dengan kondisi di lapangan. Minimnya akses publik terhadap data tata ruang disebut membuka peluang besar bagi praktik penyimpangan dan eksploitasi sumber daya alam secara ilegal.
Sebagai tindak lanjut, JPIK Jawa Timur menetapkan empat langkah strategis, yaitu: Pertama, membangun Kanal Pengaduan Publik JPIK Jawa Timur sebagai wadah pelaporan dugaan pelanggaran kehutanan dan ketidakpatuhan terhadap SVLK.
Kedua, memperkuat pemantauan hulu–hilir atas praktik illegal logging, alih fungsi lahan, dan distribusi kayu log.
Ketiga, mempererat kolaborasi dengan masyarakat sipil dan organisasi lingkungan seperti Walhi Jatim untuk memperkuat advokasi keselamatan ekologis.
Keempat, mendorong pemerintah daerah lebih transparan dan partisipatif dalam tata kelola hutan yang berkelanjutan.
“Masyarakat memiliki hak untuk memastikan industri dan pemerintah menjalankan kewajibannya menjaga kelestarian hutan. Kanal aduan ini akan menjadi alat rakyat untuk mengawal akuntabilitas itu,” tegas Munif.
JPIK Jawa Timur juga menyerukan agar akademisi, jurnalis, dan masyarakat sipil turut aktif mengawasi pengelolaan hutan serta memastikan bahwa arah hilirisasi industri tidak mengorbankan masa depan ekologis Jawa Timur. (*)
Penulis: Zainul Abidin adalah Dewan Daerah JPIK Jawa Timue dan merupakan Tenaga Pendamping Profesional Kecamatan Wajak, Kabupeten Malang.
