Istilah dusun atau padukuhan digunakan dalam pembagian wilayah administrasi di dalam wilayah suatu desa atas dasar berbagai faktor, akan tetapi di kalangan masyarakat umum istilah dusun kurang begitu populer dalam pemakaian istilahnya/redaksional bahkan pengertiannya, dibanding dengan istilah lainnya, seperti Rukun Warga (RW) atau Kampung yang memang mempunyai peran dan fungsi yang berbeda pula. Dusun atau Padukuhan dipimpin oleh seorang Pelaksana Kewilayahan bernama Kepala Dusun (Kasun) atau Kamituwo berstatus sebagai Perangkat Desa atau Pamong yang merupakan unsur pembantu Kepala Desa sebagai satuan tugas kewilayahan.
Dusun Sumberawan adalah salah satu Dusun dari Tujuh Dusun yang ada di Desa Toyomarto Kecamatan Singosari Kabupaten Malang dengan jumlah penduduk kurang lebih 3.000an jiwa dari 1.000an KK, terdiri dari 1 RW dan 13 RT dari 7 RW dan 55 RT yang ada di Desa Toyomarto. Secara geografis Dusun Sumberawan berada di dataran tinggi terletak di bagian barat wilayah Kecamatan Singosari dengan ketinggian kurang lebih ±622mdpl persis di lereng Gunung Arjuno bagian timur.
Pada masa penjajahan Belanda sebelum terbentuknya Desa Toyomarto, ada pembagian tiga Desa yaitu, Desa Ngujung dengan Kepala Desa Kyai Buyut Poninten dan dilanjutkan oleh Kyai Buyut Manab, Desa Bodean dengan Kepala Desa Mbah Haji Umar dan dilanjutkan Kyai Buyut Sarimun dan Desa Sumberawan itu sendiri dengan Kepala Desa Kyai Buyut Saleko, Kemudian oleh Buyut Tosari yang pada saat itu menjadi Kepala Desa Ngujung menggantikan Kyai Buyut Manab, ketiga Desa tersebut kemudian dijadikan satu menjadi Desa yang bernama “Toyomarto” diambil dari kata Tirta Amarta.
Menurut cerita rakyat (tutur/foklor) nama Sumberawan berasal dari beberapa kejadian sejarah di masa lampau yang erat kaitan dan hubungannya dengan keberadaan Sumber Air, dibagi menjadi dua suku kata yaitu Sumber dan Rawan yang mempunyai tiga makna. Satu Sumber dan Awan, adalah para sesepuh dan leluhur dusun pada waktu itu melakukan gotong royong kerja bakti dalam rangka mencari sumber air, yang pada akhirnya setelah melakukan proses panjang ditemukanlah sumber air tersebut pada siang hari (dalam bahasa jawa disebut awan) sehingga muncullah istilah Sumber dan Awan.
Kedua Sumber dan Rawa, adalah Sumber air yang berada di kawasan rawa-rawa, yang kalau kita lihat hari ini memang ada beberapa lokasi genangan air, hal ini juga ada kaitannya dengan cerita kerajaan, pada waktu Prabu Hayam Wuruk raja Majapahit sewaktu singgah di Singhasari pada tahun 1359, dalam kitab Negarakertagama karangan Empu Prapanca yang disebut pada pupuh 35 bait ke 4 disebutkan, “sebabnya terburu buru berangkat, setelah dijamu bapa asrama karena ingat akan giliran menghadap di balaikota Singhasari sehabis menyekar di candi makam, nafsu kesukaan bermanja-manja mengisap sari pemandangan di Kedungbiru Kasuranggan dan Bureng.” Yang ditulis pada era kerajaan Singhasari dengan sebutan Kasurangganan yang berarti taman surga, sebelum dibangun Candi Stupa Sumberawan di tempat ini hanya berupa rawa-rawa dan telaga dengan sumber air Amerta yang dianggap sebagai air suci minuman para dewa, sehingga keluar kata Sumber dan Rawa.
Ketiga Sumber dan Rawan, beredar sebuah cerita dikalangan masyarakat setempat, bahwa pada saat itu ada seekor hewan buruan yang terkena panah atau tembak dalam kondisi sekarat, lalu hewan tersebut masuk kedalam sumber kemudian keluar kembali dalam keadaan sehat seperti sediakala, sehingga sumber tersebut dikeramatkan dan dianggap mempunyai kelebihan tersendiri dari sumber air yang lain, dalam pengertian masyarakat setempat dikatakan Rawan, wingit atau angker, Sehingga lahirlah kata Sumber dan Rawan.
Tirta Amerta diambil dari bahasa Sansekerta, Tirta bermakna Air dan Amerta bermakna tidak mati berarti hidup, sehingga Tirta Amerta bisa diartikan sebagai Air Kehidupan, karena unsur air memang menjadi salah satu sumber kehidupan bagi manusia, dan Air yang berada di area Candi Stupa Sumberawan ini dipercaya dan diyakini memiliki kelebihan dan keunikan tersendiri sebagai media pengobatan untuk kesembuhan penyakit atau untuk keperluan lainnya, oleh karena itu atas karunia berupa sumber air yang istimewa inilah kemudian masyarakat setempat memandang perlu dan penting untuk mewujudkan rasa syukurnya, dengan mengadakan syukuran atau selamatan setiap tahunnya tepatnya di bulan Muharram atau Suro dalam sebutan orang Jawa, atas dasar catatan kesepakatan musyawarah para sesepuh dan tokoh Dusun yang dilakukan pada hari Rabu tanggal 18 Oktober tahun 2017 di rumah Bapak Ketua RW, sampai tahun 2020 ini kegiatan syukuran atau selamatan atau sebutan lainnya (sedekah bumi, bersih desa, ruwatan, dll.) adalah yang ke-35, dan rasa syukur masyarakat setempat tidak hanya diwujudkan dalam bentuk selamatan saja, tapi juga diwujudkan dalam bentuk perawatan untuk menjaga keberlangsungan sumber air bagi generasi penerus (anak cucu) melalui gotong royong kerja bakti yang dilakukan oleh warga masyarakat setempat dan juga diikuti oleh kelompok tani, kelompok Himpunan Pemakai Air Minum (HIPAM) juga beberapa instansi Pemerintah terkait, dilaksanakan satu minggu sebelum puncak acara dimulai, hal ini sekaligus menjaga tradisi di Desa yang sedikit demi sedikit mulai luntur, juga sebagai ruang napak tilas atas apa yang pernah dilakukan oleh sesepuh dan leluhur Dusun dalam menemukan sumber air pada waktu itu, gotong royong kerja bakti ini dimulai dari hulu sumber air sampai hilir sungai (kali Sembol, sebutan masyarakat) dan sudah berjalan rutin setiap tahunnya selama lima tahun terakhir ini.
Kirab secara teknis identik dengan rombongan atau iring-iringan massa yang ditata sedemikian rupa untuk memberikan nilai tambah dan mendapatkan nilai lebih dari apa yang menjadi maksud dan tujuan suatu kegiatan, sesuai perkembangan era dan zaman dengan tidak mengurangi nilai-nilai yang ada melalui musyawarah bersama, masyarakat sepakat untuk mengemas kegiatan selamatan menjadi sedemikian rupa, dengan tema Kirab Tirta Amerta Dusun Sumberawan yang di dalamnya terdapat beberapa rangkaian acara, diantaranya kerja bakti (gugur sumber dan sungai, sebutan masyarakat), Selamatan Sumber Air dan lain-lain, dalam rangkaian kegiatan Kirab Tirta Amerta diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat setempat dan kelompok masyarakat yang berkepentingan lainnya, sesuai perkembangannya selama lima tahun terakhir sejak tahun 2016 sampai sekarang, kegiatan kirab dikemas sedemikian rupa dengan menghadirkan rombongan atau iring-iringan pemuda pemudi pembawa kendi (tempat air minum berbentuk bulat terbuat dari tanah liat) berjumlah dua belas kendi dan tiga gendok yang tentunya mempunyai pemaknaan tersendiri, kendi ini nantinya akan diisi air dari sumber air yang ada di area candi stupa Sumberawan dan diberi mantra-mantra doa untuk diberikan atau diambil oleh siapapun yang menginginkannya dengan cara siapa cepat dia dapat, kegiatan kirab ini sekaligus sebagai ruang berkumpul dan bertemunya seluruh warga dari berbagai kelompok lapisan atau strata sosial yang ada di masyarakat melebur menjadi satu sebagai gambaran tradisi di Desa yaitu Guyub Rukun. Tahun ini kegiatan Kirab Tirta Amerta dilaksanakan pada tanggal 23, 29,30 Agustus 2020.
Tantangannya kemudian, bagaimana kegiatan tardisi ini bisa tetap terawat dan terjaga keberlangsungannya, agar tradisi di Desa tidak mudah tergerus oleh tradisi-tradisi baru yang mampu mereduksi nilai-nilai Guyub Rukun Gotong Royong di Desa, sementara dari sisi Pemerintahan Desa bagaimana kegiatan tradisi ini bisa masuk dalam sistem tata kelola Pembangunan Desa agar mempunyai kekuatan politik sebagai upaya menjaga hak asal usul dan tradisi di Desa, sekaligus mampu memberikan dampak positif dan kesejahteraan bagi warga masyarakat di Desa.
Sumberawan, 31 Agustus 2020
Abdul Wahab, SE (Pendamping Lokal Desa Kecamatan Singosari)