(Catatan ‘Ngopi’ Rakor Pendamping Desa di Poncokusumo Malang)
jejakdesa.com — Kapasitas harus dimiliki oleh seorang pemberdaya. Itu penting adanya, baik dari sisi keahliah (expertise), keterampilan (skill) dan maupun pengetahuan (knowledge). Lebih lanjut ‘kapasitas’ pun perlu tarus “disegarkan”. Ia mesti selalu ditingkatkan (capacity building & updating) setiap saat, sehingga (saling) transfer pengetahuan pun mesti tak boleh terlewatkan.
Dalam rangka peningkatan kapasitas pendamping desa maka Tenaga Pendamping Profesional (TPP) Kabupaten Malang mengupayakan berbagai cara, mulai dari diskusi terfokus, telusur situs budaya (oleh sejumlah pendamping dan pegiat), “ngopi begejekan dengan tema”, hingga dikemas forum rapat koordinasi (Rakor) internal. Sedang dalam kondisi efek Pandemi (Covid-19), Rakor yang semula lazimnya diadakan terpusat di ruang pertemuan DPMD atau ruang memadai lainnya diubah dengan model cluster.
Dari cluster ke cluster bulan ini sudah dilalui. Kemarin (26/08/2020) tibalah pelaksanaan Rakor cluster 5 Kecamatan (Poncokusumo, Tumpang, Wajak, Tajinan dan Bululawang). Acara yang memang diagendakan bergantian keliling itu pada cluster tersebut bertempat di Lawang Sari desa Gubukklakah Kecamatan Poncokusumo. Pemilihan tempat memang diarahkan pada tempat wisata desa atau yang dikelola oleh Desa (Bumdesa/kelompok masyarakat). Tempat asri kali ini yang dipilih juga dikelola oleh masyarakat Desa.
Acara itu dihadiri oleh Tim Pendamping Ahli kabupaten, Pendamping Desa dan Pendamping Lokal desa. Forum dikemas dengan santai dan “cair”, meski perbincangan serius tetap saja “diwarnai” dengan guyonan, yang terdukung pula dengan suasana sejuknya Kawasan pinus. Pada kegiatan Rakor itu masing-masing berkesempatan sharing dan ngudal rasa, terlebih oleh Pendamping Ahli (PA) Kabupaten.
Hendri Khairudin (PA-PMD) diantaranya menyampaikan bahwa ada banyak data yang diminta, semisal dari KPK terkait dengan Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang ada di desa, yang berupa Infografis APBDesa dan Laporan realiasi Penyerapan Dana Desa (DD), hingga kegiatan itu sesuai dengan PMK 225.
“Kemudian data desa merah, kuning dan hijau, misalkan yang masuk kategori desa merah ada 25 desa. Intinya nanti, bagi desa kategori merah akan dilakukan pembinaan oleh DPMD.” Tegasnya.
Dilanjutkan oleh Esti Pratiwi (PA-PED), yang juga mengulas tentang Surat Kemendesa PDTT terkait Permohonan Dukungan akses Permodalan BUMDesa yang melampirkan beberapa desa yang diperbolehkan untuk melakukan pinjaman permodalan ke bank. Di Jawa Timur yang demikian dapat dilakukan pada Bank Jatim.
“Memberikan Akses pada BUMdesa yang menjadi agent BNI dan BRI, misal dengan Program layanan KUR, sebab BUMDesa harus memberikan kemudahan dan mendekatkan BUMDesa pada kebutuhan Layanan warga desa dengan pinjaman Lunak” ujar Esty.
Dia Juga menyampaikan selama Pendemi ini, “BUMDesa harus diberikan kemudahan dalam meningkatkan perekonomian lokal, geliat pendapatan ekonomi harus didukung dengan daya beli warga. Kemudian BUMDesa harus berbenah untuk siap dalam menghadapi teknologi yang nantinya berupa BUMDesa digital,” tutupnya.
Suasana semakin adem, meski matahari sudah diatas kepala, namun belum mensurutkan semangat belajar Para pendamping desa, sebab selama pandemi belum ada tatap muka yang inten sehingga Rapat koordinasi yang dikemas woles itu membawa rasa kangen dan sahdu.
Rapat Koordinasi ini, sebenarnya dijadikan ajang untuk curah pendapat, misalnya kendala apa yang dihadapi oleh para Pendamping desa dalam proses melakukan pendampingan pada desa, ajang tukar pengalaman dan pikiran dengan desa dampingan masing – masing kecamatan, sehingga saling memberikan masukan dan solusi, meski secara teknis berbeda-beda persoalan yang dihadapi di lapangan.
Dilanjutkan oleh Faizal (PA-TTG). Dia menegaskan hasil Rapat Koordinasi Provinsi yang diikuti Tim PA sebelumnya (24-25/08) di Surabaya. Ada beberapa hal yang sampaikan utamanya terkait dengan Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT DD) yang ada tambahan tiga Bulan lagi mulai bulan (Juli, Agustus September) dan pengadaan masker setiap jiwa.
Faizal menyampaikan, “Jika desa sudah pernah melakukan pengadaan master, maka sesuai dengan SE 15 Kemendesa maka pemerintah desa dapat pengadaan lagi sisanya, bagi warga desa yang belum tercover sebelumnya. Data penduduk itu bisa diambil dari data input Indek Desa Membangunan (IDM). Begitu kira-kira penyampaian PA yang juga coordinator pendamping, ” tuturnya.
Kemudian dilanjutkan Ketut Rudyantoro (PA-ID), yang menyampaikan bahwa, “Desa wajib melakukan PKTD, bagi sisa DD sesuai dengan SE 15 Kemendesa tersebut, PKTD dapat dilakukan pada kegiatan yang bisa menyerap tenaga kerja di atas 50% HOK, PKTD itu dapat dilakukan pada normalisasi, dan pembersihan gudang BUMDesa, serta tempat wisata yang dikelola BUMDesa, tuturnya.
Dengan suara “berapi-api”, pria asal Blitar ini mengatakan, “Di PMK 50 2020 itu sudah jelas dan mengikat DD, sehingga tidak ada alasan lagi bagi desa untuk tidak menganggarkan PKTD tersebut, “tegasnya.
Setelah berjam-jam diskusi, dialog fokus, saling memberi masukan, hingga selingan-selingan obrolan begejekan. Ini artinya forum sudah sangat pantas untuk dipungkasi.
Pada kesempatan yang paling akhir, Winartono (PA-PSD) mengatakan, “stunting masih belum mendapat porsi yang baik dalam hal perencanaan dan proses pembangunan. Hal yang mudah adalah bisa kita lihat pada anggaran APBDesa. Padahal membangun manusia itu lebih penting, “tuturnya.
Winartono menambahkan, “bahkan, jika diperluas stunting tidak hanya berbicara persoalan pribadi manusia—apalagi soal “jalukan” administrasi. Scorecard atau aplikasi sistem eHDW, tetapi lebih dari itu, juga ada kaitannya dengan lingkungan kesehatan, misalnya jambanisasi, dan upaya kehidupan bersih lainnya. Ini tentu juga berkaitan dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), “tutupnya.
Forum bersama pun diakhiri dengan ditutup oleh Koordinator TPPI Kabupaten Malang. Sebagaian besar berpamitan, Sebagian lainnya masih krasan. Acara Rakor tersebut, ditutup dengan pemberian masker pada pendamping desa, Pemdamping Lokal Desa (PLD) serta masyarakat.
Suasana semakin santai dengan ditemani kopi dan rokok serta cemilan tradisional khas desa. Ada masukan dan rekomendasi dari pendamping Desa Poncokusomo.
Yusfa menambahkan, “bahwa pendamping desa penting juga memperkuat wacana, teknis advokasi dan kajian terkait dengan kewenangan desa “Berdasarkan Hak Asal Usul”. Tekait hal ini pria asli Belung Poncokusumo ini mencontohkan desa Ngadas yang dalam proses menuju menjadi desa adat,” tuturnya.
“Karena Ngadas, semua persoalan diatasi dengan musyawarah, sebab basis budaya yang masih mangakar disana, sehingga memberikan efek yang baik pada tatanan kehidupan bermasyarakat bahkan tata Kelola pemerintahan. Ngadas adalah desa yang jamak warganya tak mau menerima BLT DD. Mereka, yang tidak mampu sudah dicukupi oleh tanah ulayat, sampai dukun pun mendapatkannya, pekerja non PNS bahkan elit lokal mempunyai bagian tersendiri,” tegasnya.
“Ngadas dalam Proses menuju Desa adat ini didorong untuk membuat Peraturan Desa tentang Desa Adat. Ini penting sebab untuk mengatur dan melindungi budaya-tradisi yang sudah menjadi nafas kehidupan mereka sejak ratusan tahun. Kenapa harus ada peraturan desa? .Sebab ada beberapa warga pendatang, yang nikah dengan penduduk setempat yang tidak percaya akan hal tradisi kebudayaan tersebut, sehingga secara sosiologis pedesaan, dia akan merusak kesadaran kolektif tradisi budaya leluhur Ngadas,” pungkas Yusfa. (Aas/W)