Dialektika Desa

jejakdesa.com – Mengenal desa lebih jauh…!! dalam tulisan ini, penulis tidak menggunakan analisis “dialektika materialisme historis” namun arti dialektika – pertentangan [ kontradiksi]. Terjadi Peruhaban karena adanya kontradiksi, intinya yang memdasari perubahan adalah karena adanya sebab kontradiksi.

Kemudian, Belajar tentang desa ditinjau dari lahirnya UU No 6 tentang desa. Nah, kita mengenal istilah “desa lama dan desa baru”, sejak kapan? Bisa dikatakan sejak UU desa tersebut lahir atau di sahkan, sebab desa lama bisa di asumsikan desa sebelum adanya UU desa, setelahnya akan dikatakan desa baru, wajah baru dalam proses pembangunan. Itu lah dialektikanya.

Benarkah demikian [?]. Dalam perspektif penulis bahwa desa bisa dibilang desa baru, sejauh UU desa itu dapat di implikasikan oleh pemerintah desa dengan baik dan di pahami dengan benar dalam proses penyelenggaraan pemerintahannya. Mengapa demikian [?] karena UU desa tersebut adalah dokumen mati, jika tidak disentuh oleh tangan subyek – pemerintah desa, pegiat desa dan agen kolektif, maka tidak ada gunanya UU desa tersebut. Nah, oleh kerena itu UU Desa itu butuh sentuhan tangan orang – orang { subyek penggerak } dan memahami dgn benar dalam proses pelaksanaannya.

Dalam kontek ini lah UU desa bisa ada menfaatnya untuk efek perubahan pembangunan desa ke depan nya, desa yang dapat berwajah baru. Apa kriteria desa baru tersebut? Kita melihat pada UU desa pasal 3 berbunyi “pengaturan desa berasaskan; {i} Recognisi, Subsidiaritas, keberagaman, kebersamaan, kegotongroyongan, kekeluargaan, musyawarah, demokrasi, kemadirian, partisipasi, kesetaraan, pemberdayaan, dan keberlanjutan.

Dari terem yang banyak itu, penulis hanya ingin memasuki pintu “Recognisi” saja. Arti dari istilah itu “hal yang diakui” – pengakuan. Pengakuan itu bisa apos priori . Misalnya, kebudayaan – seni tari yang dimiliki oleh masyarakat desa, dulu pernah ada tetapi lambat laun hilang karena tidak ada regenerasi untuk melanjutkan tarian tersebut, tidak mentradisi.

Tarian tradisional itu tidak hilang , namun masih ada di kesadaran masyarakat desa, maka berdasarkan Recognisi itu, ia – tarian bisa dihadirkan kembali dalam ruang ke kinian – ruang modern. Pendek kata, pengetahuan tentang tarian itu sebenarnya tidak hilang atau tidak lupa tetapi mengendap, atau ada dibawah sadar – bawah sadar bisa di bilang masa lalu. Ada secara konsep, namun hilang secara realitas dan riil nya. Itulah salah satu contoh, bagaimana UU desa hadir dan bisa memberikan perubahan pada tatanan pengelolaan potensi dan aset desa, dengan wajah baru, lebih inovasi. Dengan cara melakukan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa,lihat pasal 19, terhadap keberadaan segala hal, baik potensi dan aset yang ada di desa tersebut.

Bagaimana tarian tradisional itu dikelola dan diakui sebagai tarian asli desanya, pengelolaan kesenian itu dengan cara yang baik dan dapat menghasilkan nilai ekonomi, dengan tujuan kesejahteraan masyarakat desa yang penuh persaudaraan, beragamaan dengan cara gotongroyong, segela aktifitas pelaksanaan harus melalui musyawarah dan di kerjakan secara sukarela – gotongroyong karena pembangunan harus melihat dari segala dimensi.

Yang pada awalnya tidak di perhatikan – di pinggirkan, kini menjadi spictrum yang harus digali, diperhatikan dan anggarkan, baik yang bersifat potensi,aset dan bernilai ekonomis, kemudian dilindungi dengan pengakuan. Nah, perubahan di desa itu harus melakukan pendekatan pemberdayaan dengan cara melakukan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan dan kesadaran.

Apa sebab? Karena Itulah lokus yang menjadi prioritas dalam UU desa, biar terjadi kemajuan di desa sebab, desa sebagai subyek pembangunan. Dengan demikian, desa baru akan muncul dengan wajah baru dan berinovasi tentunya. (*)

Sumber foto; youtube.com

jejak Desa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kembali ke atas