Teks, Harokat, dan Paradoks Kemanusiaan

(Pengantar Paling Awal untuk Belajar Ansos bagi Pegiat Pendampingan/Pemberdayaan Masyarakat)

Coretan Refleksi oleh: win.elkinanti

Ada Kapasitas, Ada Kualitas, Ada Pula Harokatnya

Setiap aktivitas pembacaan pada prinsip dasarnya punya zona “teks” masing-masing. Ilustrasi sederhananya adalah bahwa gergaji sebagai alat punya fungsi dasar awal, meski ia bisa saja kita gunakan untuk memotong kue ulang tahun. Kalau pun bisa ini melanggar setidaknya aspek kepantasan atau kelaziman. Tak hanya soal kepantasan, hasil “potongan”, besar kemungkinan tak sempurna, alias belepotan.

Namun demikian penggunaan alat yang kurang tepat guna-fungsi utamanya bisa dibenarkan. Bahkan pada (kon)teks tertentu, ketidak-laziman demikian bisa jadi terobosan: inovasi. Hal demikian memang bisa dibilang nadir adanya. Setidaknya kalau itu diniatkan menjadi cara inovatif, tentu mensyaratkan estimasi dalam upaya presisi dan hasil yang baik.

Kekurang-tepatan penggunaan alat baca dalam banyak kasus masih dianggap maklum. Setidaknya dengan alasan “tiada rotan, akar pun jadi”. Ini mafhum juga jika dibandingkan dengan sikap acuh manusia (penggunanya) atas pentingnya perangkat alat.

Sebelum memilih alat, patut kiranya kita memahami sifat sekaligus cara untuk membaca (menilai) “apa yang akan dibaca/dinilai”. Sebagai analog saya sering kali mengilustrasikan “apa-apa yang dibaca” dengan nomenklatur peristilahan ilmu bahasa yang sederhana. Pengkategorian pembacaannya bisa dimulai dari rentang yang sederhana, yaitu: textual->cootextual->intertextual->contextual.

Lalu apa-apa yang tak cukup (pas/tepat/pantas) dibaca dengan cara tersebut, perlu alat baca “harokat” lanjut. Sebab demikian, muncullah serial ilmu/metoda “harokat” muncul, seperti: Polling, Survei, Sensus, kritik, hingga Analisis.

Aplikasi Teknologi sebagai alat harokat bantu (?)

Secanggih apapun alat ‘harokat’ baca, tanpa didasari kesadaran demikian (dan tentu niat dan keseriusan), bisa berujung nothing. Fenomena ini acap kali terjadi, bahkan di era teknologi nan canggih, yang bisa mentransformasikan alat harokat tersebut dalam bentuk “aplikasi” siap pakai. Ironisnya, efek sampingnya adalah manusia sebagai subjek (فاعل) beserta nilai luhur (partisipatif, inklusif, ramah lingkungan, dll.) banyak yang ter-reduksi dengan “aplikasi instan” dan bentuk kecanggihan teknologi lainnya (katanya).

Sebagai manusia yang membuat dan memanfaatkan “aplikasi” kita patut merasa jatuh harkat manusiawi. Sebab fungsi efektifitas-efesiensi “aplikasi” juga menyisakan determinasi teknologi atas manusia, bahkan bisa menyumbang dehumanisasi.

Paradoks demikian bisa kita jawab (baca: obati) dengan mulai dari mengenal-pahami serial opsi harokat (alat baca). Dan Analisis Sosial ada di dalam bagiannya. Meski di era yang semakin menuntut gerak akselerasi ini, opsi harokat analisis telah berkembang sedemikian rupa banyak dan lengkapnya. Bukankah dalam hal potong-memotong, di dapur saja banyak jenis varian pisau dengan fungsi rinci masing-masing.

Maka, untuk memotivasi diri sendiri, saya pungkasi dengan komentar: nekat sekali, seorang pegiat/petugas pemberdayaan abai atau bahkan tak bermodal pisau tumpul sekalipun. Nekat sekali, mereka yang tak berbekal harokat pendampingan masyarakat. Ya jika demikian, semoga masih ada bekal penolong, seperti empati kemanusiaan. Bukankah yang kita dampingi adalah makhluk Tuhan Maha Kasih yang tak hanya bisa bernafas.

Lebih jauh lagi, seorang pemberdaya mesti meng-harokati kemanusiaannya sendiri. Seorang Pemberdaya/Pendamping mesti manusiawi sejak dalam pikiran. Dan ini bisa kita bisa hidupkan dengan harokat gerak pendampingan yang tepat.

Saya yakin setiap kita (manusia) sudah dibekali potensi. Tinggal kita mau memilih beriktiar untuk peningkatan kapasitas atau kualitas diri, atau malah memilih mematikan potensi. Dan di bumi subur ini, bahkan perilaku/sikap impotensi ini tetap saja mendapat apresiasi: gaji atau bentuk pemakluman lainnya.

Jangan bosan untuk mengharokati kehidupan ini. Ansos hanya bagian kecil saja. Selamat belajar bareng. Sukses Kawan.

jejak Desa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Kembali ke atas